KEOTENTIKAN AKTA RISALAH HASIL RUPS ONLINE

RUPS Secara Umum

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) membawa otoritas yang tak terbandingkan dalam struktur perseroan. RUPS menjadi salah satu organ perseroan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan/atau anggaran dasar.  Dalam hal ini, RUPS memegang kendali tertinggi dalam PT meskipun baik masing-masing organ perseroan (RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris) memiliki kewenangan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab mereka masing-masing.

Adapun kewenangan RUPS yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris, yaitu:

  1. Menyetujui pengajuan permohonan agar perseroannya dinyatakan pailit;
  2. Mengubah anggaran dasar;
  3. Mengangkat dan memberhentikan anggota dari direksi maupun dewan komisaris;
  4. Menyetujui perpanjangan jangka waktu berdirinya perseroan terbatas;
  5. Menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisah; dan
  6. Membubarkan perseroan.

RUPS sendiri dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa. RUPS Tahunan wajib dilaksanakan satu kali dalam setahun sebelum akhir bulan Juni, sementara RUPS Luar Biasa dapat diadakan kapanpun oleh direksi melalui permohonan tertulis. Pelaksanaan RUPS ini bertujuan untuk mengetahui seluruh kegiatan dalam perseroan, seperti cara bisnis, laporan keuangan, serta rincian permasalahan yang muncul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha perseroan tersebut. 

Pelaksanaan RUPS

RUPS dilakukan di tempat kedudukan perseroan melakukan kegiatan usaha berdasarkan anggaran dasar. Namun dalam ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUPT mengatur bahwa selain pelaksanaan RUPS harus dilaksanakan secara konvensional di tempat kedudukan PT melakukan kegiatan usahanya, RUPS juga dapat dilakukan melalui media telekonferensi (teleconference), video konferensi (video conference). Adanya ketentuan Pasal 77 ayat (1) ini memberikan fleksibilitas kepada para peserta rapat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan RUPS, dimana mereka tidak diharuskan untuk berada dalam tempat yang sama secara fisik (tatap muka).

Selanjutnya, hasil dari pelaksanaan RUPS ini dituangkan ke dalam risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh seluruh peserta RUPS sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 ayat (4) UUPT. Dengan demikian, RUPS yang dilaksanakan melalui video conference dapat mempertemukan para peserta seperti halnya dalam satu tempat walaupun pada kenyataannya para peserta berada di tempat yang berbeda namun masih dapat mendengar dan melihat peserta lainnya secara langsung (live) sebagaimana pelaksanaan RUPS secara konvensional.

Di sisi lain, dalam hal penyelenggaraan RUPS atas dasar perubahan anggaran dasar, maka sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) UUPT, risalah RUPS harus dinyatakan dalam akta notaris yang berbahasa Indonesia. Artinya, apabila hasil keputusan RUPS yang memiliki topik perubahan anggaran dasar, walaupun pelaksanaannya melalui video conference, maka harus dibuatkan akta notaris.

Dalam pelaksanaan RUPS melalui video conference ini yang perlu digaris bawahi adalah adanya perbedaan dengan pelaksanaan RUPS secara konvensional yaitu pada RUPS secara konvensional para peserta RUPS hadir secara fisik pada waktu dan tempat yang sama dimana RUPS diselenggarakan, sedangkan pada RUPS melalui video conference ada peserta yang tidak hadir di tempat yang sama namun pada waktu yang sama dapat mengikuti jalannya RUPS dari awal hingga selesai. 

Keotentikan Akta Hasil RUPS

Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa dalam hal topik RUPS adalah perihal perubahan anggaran dasar, maka hasilnya harus dibuatkan dalam bentuk akta. Suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi:

  1. Bentuk akta harus sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN).
  2. Akta otentik dibuat di hadapan pejabat umum yang diangkat oleh Menteri, yaitu Notaris.
  3. Akta otentik dibuat oleh pejabat umum yang berwenang. Seorang notaris yang sedang cuti atau sedang diberhentikan sementara tidak berwenang untuk membuat akta otentik. Demikian juga dengan seorang Notaris yang belum disumpah tidak dapat membuat sebuah akta otentik (aktanya menjadi akta di bawah tangan).

Menurut Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UU JN dinyatakan bahwa Notaris memiliki kewenangan dalam membuat sebuah akta otentik, sehingga jelas bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan penetapan. RUPS dapat dikatakan sebuah perjanjian atau persetujuan antara para peserta RUPS berkaitan dengan perseroan, maka dari itu akta hasil keputusan RUPS yang dibuat oleh Notaris dapat dikatakan sebagai akta otentik.

Menurut Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UU JN dinyatakan bahwa Notaris memiliki kewenangan dalam membuat sebuah akta otentik, sehingga jelas bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan penetapan. RUPS dapat dikatakan sebuah perjanjian atau persetujuan antara para peserta RUPS berkaitan dengan perseroan, maka dari itu akta hasil keputusan RUPS yang dibuat oleh Notaris dapat dikatakan sebagai akta otentik.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf m menyatakan bahwa Notaris berkewajiban hadir secara langsung membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh 2 orang saksi dan khusus untuk akta akta waris harus dihadiri oleh 4 orang saksi, artinya prosedur pembuatan akta risalah RUPS juga harus dihadiri secara langsung oleh Notaris, para penghadap dan 2 orang saksi. Apabila prosedur ini tidak dilaksanakan oleh Notaris dalam artian Notaris tidak membacakan dan berhadapan secara fisik (langsung) dengan para penghadap dan saksi maka sanksi nya adalah kedudukan akta tersebut menjadi akta di bawah tangan.

Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah mengenai otentik atau tidaknya sebuah akta risalah RUPS yang dilaksanakan melalui video conference karena RUPS tersebut tidak mewajibkan kehadiran para penghadap di satu tempat yang sama. Hal ini tentu tidak sesuai dengan aturan Pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN maka bila yang menjadi dasar acuan adalah Pasal 16 ayat (1) huruf m akta RUPS melalui video conference kedudukannya dapat menjadi akta di bawah tangan.

Dalam hal ini terjadi pertentangan antara UU PT dan UU JN khususnya dalam hal mekanisme pelaksanaan RUPS. UU PT membolehkan pelaksanaan RUPS melalui video conference dimana dimungkinkan ada peserta rapat yang mengikuti jalannya RUPS dari tempat lain namun masih dapat melihat dan mendengar jalannya RUPS sehingga Notaris tidak berhadapan dengan para peserta rapat. Sedangkan dalam UU JN mewajibkan Notaris hadir berhadapan langsung secara fisik dengan para penghadap dan saksi. Pertentangan ini dapat dilihat menggunakan asas preferensi perundang undangan lex specialis derogate legi generali.

Asas lex specialis derogate legi generali adalah asas preferensi undang undang yang merujuk kepada dua undang undang yang secara hierarkis memiliki kedudukan yang sama, dan perbuatan hukum tersebut diperintahkan oleh undang-undang, dan yang membuat undang- yang menjadi lex generalis–nya adalah Pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN, sedangkan lex specialis-nya adalah Pasal 77 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 77 ayat (4) UU PT.

Dalam pelaksanaan Pasal 77 ayat (1) jo. penjelasan Pasal 77 ayat (4) UU PT perlu diperhatikan pula mengenai bentuk akta terkait Pasal 38 UU JN. Pada pembuatan akta biasa atau konvensional bentuk akta terutama pada bagian penutup akta sudah tentu menunjukkan bahwa para penghadap, saksi dan Notaris hadir di suatu tempat dan waktu yang sama. Lain halnya dengan RUPS melalui video conference, tempat peserta RUPS yang berbeda dengan peserta lainnya harus secara tegas disebutkan agar tidak mengakibatkan akta tersebut menjadi akta di bawah tangan.

Berdasarkan uraian di atas maka kedudukan hukum akta risalah RUPS yang dilaksanakan melalui media elektronik khususnya video conference dapat disebut sebagai akta otentik apabila menggunakan asas perundang-undangan lex specialis derogate legi generali dimana yang menjadi lex generalis–nya adalah Pasal 16 ayat (1) huruf m, sedangkan lex specialis-nya adalah Pasal 77 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 77 ayat (4) UU PT. Berdasarkan konstruksi hukum seperti ini, maka sanksi dalam Pasal 16 ayat (9) UU JN yakni kedudukan akta menjadi akta di bawah tangan itu tidak berlaku, serta ketentuan pada Pasal 16 ayat (1) huruf m yang mengatur bahwa para penghadap, saksi dan Notaris harus saling berhadapan pada waktu dan tempat yang sama ini hanya berlaku pada akta-akta selain akta RUPS sebagaimana disebutkan dalam Pasal 77 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 77 ayat (4) UUPT.

Pendampingan jasa legal dapat menghubungi:

Fanny
T. (+6221) 2222-0200
E. [email protected]

Bella
T. (+6221) 2222-0200
E. [email protected]

Author

  • SW Indonesia

    As the webmaster and author for SW Indonesia, I am dedicated to providing informative and insightful content related to accounting, taxation, and business practices in Indonesia. With a strong background in web management and a deep understanding of the accounting industry, my aim is to deliver valuable knowledge and resources to our audience. From articles on VAT regulations to tips for e-commerce taxation, I strive to help businesses navigate the complexities of the Indonesian tax system. Trust SW Indonesia as your go-to source for reliable and up-to-date information, empowering you to make informed decisions and drive success in your business ventures.