Pemerintah menerbitkan Permenkumham No. 2 Tahun 2025 tentang Verifikasi dan Pengawasan Pemilik Manfaat dari Korporasi, menggantikan aturan sebelumnya (Permenkumham No. 21 Tahun 2019). Berlaku sejak 4 Februari 2025, regulasi ini mewajibkan korporasi meningkatkan kepatuhan dalam pelaporan pemilik manfaat demi transparansi bisnis yang lebih baik.
Menurut Pasal 3 ayat (1) Permenkumham 2/2025, setiap korporasi wajib mengungkapkan pemilik manfaatnya dengan menyampaikan informasi secara lengkap dan akurat kepada Menteri Hukum dan HAM. Pengkinian informasi ini wajib dilakukan setiap satu tahun sekali untuk memastikan data tetap valid.
Selain itu, berdasarkan Pasal 22 ayat (3), jika korporasi tidak memenuhi kewajiban pelaporan, Menteri dapat menjatuhkan sanksi administratif yang terdiri dari:
- Teguran yang diberikan dalam bentuk notifikasi melalui AHU Online atau email.
- Pencantuman dalam daftar hitam, yang diumumkan melalui situs resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
- Pemblokiran akses ke sistem AHU Online, yang membatasi korporasi dalam melakukan aktivitas administrasi hukum secara daring.
Latar Belakang Regulasi
Sebelumnya, pengungkapan pemilik manfaat diatur dalam Permenkumham 21/2019, yang fokus pada pengawasan penerapan prinsip Know-Your-Beneficial-Owner (KYBO). Namun, efektivitasnya masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam akurasi data dan kepatuhan pelaporan oleh korporasi.
Sebagai langkah perbaikan, pemerintah menerbitkan Permenkumham 2/2025, yang memperluas cakupan entitas yang wajib melakukan pengungkapan pemilik manfaat, serta memperkenalkan mekanisme pengawasan yang lebih ketat. Salah satu perubahan penting adalah perluasan definisi perseroan terbatas, yang kini mencakup perseroan persekutuan modal dan perseroan perorangan. Selain itu, persekutuan perdata kini juga termasuk dalam kategori entitas yang wajib melakukan pelaporan pemilik manfaat.
Kewajiban Korporasi dalam Pengungkapan Pemilik Manfaat
Regulasi baru ini mewajibkan korporasi untuk:
- Melakukan Pengkinian Data Pemilik Manfaat – Korporasi wajib memperbarui informasi pemilik manfaat setiap tahun agar data tetap akurat.
- Menyimpan Dokumen Pemilik Manfaat – Seluruh informasi dan dokumen terkait pemilik manfaat harus terdokumentasi dengan baik.
- Mengisi Kuesioner Pemilik Manfaat – Setiap korporasi harus mengisi formulir khusus untuk mendukung validasi data oleh otoritas terkait.
- Melakukan Identifikasi dan Verifikasi – Proses ini mencakup penetapan pemilik manfaat berdasarkan dokumen pendukung yang sah.
Untuk memastikan transparansi dan akurasi data, verifikasi pemilik manfaat kini dilakukan berdasarkan penilaian risiko tertentu (misalnya risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme) oleh beberapa pihak, yaitu:
- Korporasi sendiri – Memastikan keabsahan informasi pemilik manfaat dalam proses pendirian dan perubahan data.
- Notaris – Memfasilitasi proses verifikasi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
- Menteri Hukum dan HAM – Melakukan pemeriksaan terhadap informasi yang diberikan korporasi serta menilai kuesioner yang diisi.
- Instansi Pemerintah Lainnya – Melakukan verifikasi tambahan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Penguatan Mekanisme Pengawasan
Permenkumham 2/2025 juga membawa perubahan signifikan dalam mekanisme pengawasan, dengan menambahkan beberapa kewajiban baru, seperti:
- Pengawasan atas penerapan identifikasi dan verifikasi pemilik manfaat oleh korporasi.
- Penyampaian informasi pemilik manfaat kepada Menteri sebagai bagian dari kewajiban kepatuhan.
- Penyesuaian dokumen dan pelaporan perubahan data pemilik manfaat agar selalu selaras dengan peraturan yang berlaku.
Selain itu, Menteri Hukum dan HAM kini memiliki wewenang untuk menetapkan pemilik manfaat berdasarkan hasil verifikasi dan analisis data, sehingga jika ditemukan perbedaan antara laporan korporasi dan hasil analisis, otoritas dapat menentukan siapa sebenarnya pemilik manfaat dari suatu entitas bisnis.
Sanksi bagi Korporasi yang Tidak Patuh
Permenkumham 2/2025 menetapkan beberapa sanksi administratif bagi korporasi yang tidak melaporkan pemilik manfaat atau menyampaikan informasi yang tidak akurat, antara lain:
- Teguran administratif – Disampaikan melalui sistem AHU Online atau email resmi.
- Pencantuman dalam daftar hitam – Nama korporasi akan diumumkan secara terbuka di situs resmi pemerintah.
- Pemblokiran akses ke layanan AHU Online – Korporasi yang tidak patuh dapat kehilangan akses terhadap sistem perizinan dan administrasi hukum.
Dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, aturan baru ini menambahkan mekanisme teguran sebelum pengenaan sanksi yang lebih berat, memberikan kesempatan bagi korporasi untuk segera memenuhi kewajibannya sebelum dikenakan tindakan lebih lanjut.
Kesimpulan
Dengan diberlakukannya Permenkumham 2/2025, diharapkan korporasi dapat lebih transparan dalam mengungkapkan pemilik manfaatnya. Regulasi ini menekankan pentingnya kepatuhan dalam pelaporan, verifikasi, serta pengkinian data, sekaligus memperkenalkan mekanisme pengawasan yang lebih ketat.
Sebagai bagian dari upaya menciptakan iklim bisnis yang sehat dan akuntabel, korporasi di Indonesia harus segera menyesuaikan diri dengan peraturan baru ini guna menghindari sanksi dan memastikan operasional mereka tetap berjalan dengan lancar.
Pendampingan jasa hukum dari SW Counselors at Law, dapat menghubungi:
Fanny
T. (+6221) 2222-0200
Bella
T. (+6221) 2222-0200