DINAMIKA BARU HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA: IMPLIKASI PUTUSAN MK NO. 168/PUU-XII/2023

Sebagai respon atas permohonan pengujian materiil terhadap Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU 6/2023), maka Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah menjatuhkan Putusan No. 168/PUU-XII/2023 (“Putusan 168/2023”) pada tanggal 1 Desember 2023 lalu oleh sekelompok pemohon (“Para Pemohon”). 

Keputusan akhirnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Pemohon, dengan menyatakan bahwa sebanyak 21 Pasal UU 13/2003 inkonstitusional bersyarat. Dalam SWILU Edisi 8 ini, kami akan berfokus yang berkaitan dengan sektor upah dan upah minimum, yakni Hak Pekerja untuk Menikmati Standar Hidup Layak; Kebijakan Struktur dan Skala Upah; dan Batasan Penetapan Kebijakan Upah.

Hak Pekerja untuk Menikmati Standar Hidup Layak

Sebelumnya, dalam Pasal 88 (1) UU 13/2003 mengatur bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang menjamin penghidupan yang layak, yang selanjutnya dijabarkan menjadi sejumlah penghasilan atau upah yang diterima pekerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya secara wajar, termasuk kebutuhan makan dan minum, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan di hari tua. 

Kemudian dalam UU 6/2023, penjabaran tersebut dihapuskan. Menurut Pemohon uraian sebelumnya menunjukkan peran penting pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak atas pengupahan dan perlakuan yang adil dan setara dalam hubungan kerja. Namun, dengan dihapusnya uraian tersebut berdasarkan UU 6/2023, Pemohon berpendapat bahwa terdapat risiko berkurangnya tanggung jawab negara untuk berperan aktif dalam pemenuhan hak konstitusional warga negara dan/atau individu.

Atas pendapat Pemohon tersebut, pemerintah menganggap bahwa penghapusan penjelasan tersebut tidak menghilangkan jaminan perlindungan tenaga kerja, karena penghidupan yang layak tidak hanya diperoleh melalui pendapatan tetapi juga program jaminan sosial dan kesejahteraan. Sehingga akhirnya, MK memutuskan memenangkan Pemohon dan memerintahkan agar penjabaran Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 dikembalikan sebagaimana mestinya dengan pertimbangan bahwa pasal yang dimaksud masih dianggap perlu sebagai perwujudan kesejahteraan buruh, yang bersumber dari usaha sendiri, dan juga krusial dalam mendefinisikan hakikat dari apa yang disebut sebagai “Penghidupan Laya

Kebijakan Upah

Ketentuan Pasal 88 ayat (3) huruf (b) UU 6/2023 tentang kebijakan pengupahan, pada intinya menyatakan bahwa struktur dan skala upah merupakan salah satu komponen utama dari keseluruhan kebijakan pengupahan. Terkait hal tersebut, dalam Pertimbangan Putusan 168/2023, MK memutuskan untuk menambahkan frasa, “yang proporsional” pada Pasal tersebut. Penambahan ini bertujuan untuk memberikan panduan bagi pemberi kerja saat menentukan upah yang pada akhirnya bertujuan untuk menawarkan kepastian upah yang lebih besar sekaligus mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi untuk setiap pekerja.

Batasan Penetapan Kebijakan Upah

Sesuai dengan Pasal 92 ayat (1) UU No. 13/2003, pemberi kerja wajib menetapkan kebijakan pengupahan yang mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu golongan, jabatan, pengalaman kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja. Namun, dengan diberlakukannya UU 6/2023, aspek-aspek tersebut dihilangkan sehingga pertimbangan kebijakan pengupahan beralih fokus pada kemampuan dan produktivitas perusahaan.

Mengenai penghilangkan aspek-aspek ini, Para Pemohon berpendapat bahwa UU 6/2023 pada akhirnya melemahkan daya tawar pekerja terhadap pemberi kerja, sehingga semakin melemahkan dan tidak seimbangnya kedudukan pekerja dalam hubungan kerja. Selain itu, ketiadaan komponen ini menyiratkan kurangnya pengakuan atas kompetensi pekerja di bidangnya masing-masing.

Menanggapi hal tersebut, MK mengakui bahwa tidak adanya aspek golongan, jabatan, pengalaman kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja ini mengindikasikan adanya kriteria pengupahan yang ditetapkan secara sepihak oleh pemberi pekerja, tanpa mensyaratkan adanya indikator atau parameter tertentu yang berkaitan dengan pekerja, sehingga mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan dalam hubungan pengusaha-pekerja. Dengan demikian, MK memutuskan bahwa aspek golongan, jabatan, pengalaman kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja harus dikembalikan.

Pendampingan jasa hukum dari SW Counselors at Law, dapat menghubungi:

Fanny

  T. (+6221) 2222-0200

  E. [email protected]

  Bella

  T. (+6221) 2222-0200            

E. [email protected]

Author

  • As the webmaster and author for SW Indonesia, I am dedicated to providing informative and insightful content related to accounting, taxation, and business practices in Indonesia. With a strong background in web management and a deep understanding of the accounting industry, my aim is to deliver valuable knowledge and resources to our audience. From articles on VAT regulations to tips for e-commerce taxation, I strive to help businesses navigate the complexities of the Indonesian tax system. Trust SW Indonesia as your go-to source for reliable and up-to-date information, empowering you to make informed decisions and drive success in your business ventures.

    View all posts