Salah satu aksi korporasi perusahaan untuk memiliki perusahaan lain adalah dengan membeli sebagian besar saham milik perusahaan lain. Dalam hal Perusahaan melakukan akuisisi saham dan terdapat selisih harga jual antara nilai buku saham dan nilai jual-beli saham akan timbul goodwill.
Goodwill merupakan istilah bagi aset takberwujud yang merefleksikan selisih nilai transaksi dan nilai buku. Goodwill dicatat dalam laporan posisi keuangan (neraca) saat terjadi jual-beli saham perusahaan. Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia, secara komersial, goodwill harus dinilai kembali setiap tahun. Jika terdapat penurunan nilai, maka Standar Akuntansi mengharuskan pengakuan atas penurunan nilai tersebut, yang dicatat sebagai biaya dan pengurang nilai goodwill. Jika terjadi kenaikan nilai, maka pencantatan akuntansi mencatat kenaikan nilai tersebut sebagai goodwill.
Aspek perpajakan atas jual-beli saham adalah capital gain, yaitu nilai jual-beli dikurangi nilai buku (aset bersih) perusahaan yang dibeli. Capital gain tersebut dipresentasikan dalam laporan laba rugi sebagai penghasilan lain-lain (bukan kelompok pendapatan usaha atau penjualan), apabila pemegang saham yang sahamnya dijual adalah badan usaha. Sedangkan untuk pemegang saham perorangan, capital gain tersebut akan mengikuti tarif pajak progresif untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP).
Aspek Perpajakan terhadap Penjualan Aktiva Tetap
Dalam banyak transaksi jual-beli terkait aksi korporasi perusahaan, yang dijual bukan saham perusahaan melainkan aset (aktiva) tetap milik perusahaan. Aspek perpajakan terkait penjualan aktiva tetap meliputi pajak penghasilan atas penjualan aktiva dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pajak Penghasilan atas Penjualan Aktiva
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 (“UU PPh”) disebutkan bahwa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (aktiva tetap) merupakan objek pajak penghasilan.
Penjualan atas aktiva tetap Perusahaan dapat menghasilkan keuntungan atau kerugian. Apabila Perusahaan menjual aktiva tetap dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan yang menjadi objek pajak penghasilan.Adapun kerugian karena penjualan atau pengalihan aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan dalam Perusahaan merupakan biaya yang dapat dijadikan pengurang dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sepanjang aktiva tetap tersebut terkait dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU PPh diatur bahwa atas transaksi penjualan aktiva tetap dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha maka nilai perolehan atau pengalihan harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh terhadap penghasilan yang diterima oleh Perusahaan dari pengalihan aktiva tetap berupa tanah dan/atau bangunan terutang pajak penghasilan yang bersifat final. Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2016 besarnya pajak penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar:
- 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
- 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
- 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Pajak Penghasilan yang terutang wajib disetor sendiri oleh Perusahaan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
Dari sisi perusahaan pembeli, terdapat kewajiban untuk melakukan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tarif BPHTB adalah sebesar 5% dari harga jual yang dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Jumlah NPOPTKP akan ditentukan berdasarkan wilayah dimana tanah dan/atau bangunan itu berada.
Pajak Pertambahan Nilai atas Penjualan Aktiva
Sesuai dengan Pasal 16D Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, disebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), berupa aktiva antara lain mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau BKP lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Adapun PPN tidak dikenakan atas pengalihan BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva, yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.