PENGURANGAN EMISI KARBON DI INDONESIA

Dalam seratus tahun terakhir suhu permukaan bumi telah mengalami peningkatan. Jika dibandingkan pada pertengahan abad ke-20, suhu permukaan bumi mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,89oC menurut data NASA, lembaga antariksa Amerika Serikat. Fenomena peningkatan suhu permukaan bumi ini dikenal dengan istilah global warming. Global warming atau pemanasan global disebabkan oleh Gas Rumah Kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer. 

Terdapat beberapa jenis gas yang termasuk GRK antara lain CO2, CH4, NO2, NO, SO2, CFC. GRK dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, industri semen, logam, manufaktur, perbankan, agrikultur, dan peternakan. Suhu permukaan bumi diproyeksikan akan mengalami peningkatan 1,5oC pada tahun 2050 apabila tidak dilakukan tindakan konkret untuk mengurangi emisi GRK. Fenomena pemanasan global merupakan salah satu tantangan terbesar umat manusia di masa yang akan datang. Apabila tidak ditangani dengan serius, pemanasan global dapat mengakibatkan perubahan iklim yang dapat memicu kelaparan, gagal panen, bencana alam, dan kekeringan. 

Indonesia menjadi salah satu negara yang turut serta dalam menghadapi perubahan iklim. Keterlibatan Indonesia dimulai sejak diratifikasinya Konvensi Kerangka PBB Mengenai Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (“UU No. 6/1994”). Kemudian, Indonesia juga meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (“UU No. 17/2004”). 

Keterlibatan Indonesia terbaru adalah dengan bergabung bersama 195 negara lain dalam Paris Agreement pada tahun 2015, yang menghasilkan Nationally Determined Contribution (“NDC”). NDC merupakan dokumen yang berisi komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Negara-negara yang tergabung dalam Paris Agreement tersebut memuat upaya masing-masing negara untuk mengurangi emisi serta menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim dalam NDC. Salah satu komitmen Indonesia adalah menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan sampai dengan 41% bila dengan dukungan internasional pada tahun 2030. 

Berkenaan dengan perwujuduan komitmen-komitmen tersebut, pemerintah menerbitkan Perpres 98/2021 yang mengatur mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Perpres ini berperan penting sebagai upaya Indonesia mencapai komitmen NDC tahun 2021 dengan membuat suatu framework untuk mempercepat prosedur pengendalian emisi GRK. Perpres 98/2021 ini menjadi dasar untuk menerapkan NEK serta menjadi panduan untuk mengurasi emisi GRK melalui implementasi berbagai kebijakan dan tindakan yang bertujuan untuk mencapai target NDC negara seiring dengan pembangunan nasional. 

Salah satu bentuk pelaksanaan penyelenggaran NEK adalah melalui mekanisme perdagangan karbon. Pasal 48 ayat (1) Perpres 98/2021 menyatakan bahwa perdagangan karbon ini dapat dilakukan melalui perdagangan dalam negeri dan/atau perdagangan luar negeri. Adapun perdagangan karbon dalam negeri dan luar negeri dilakukan melalui 2 mekanisme, yakni:

  1. Melalui perdagangan emisi
  2. Melalui offset emisi GRK

Salah satu isu yang diatur dalam Perpres 98/2021 ini adalah mengenai perdagangan karbon. Menurut Pasal 1 angka 17 Perpres 98/2021 bahwa Perdagangan Karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui kegiatan jual beli unit karbon. Objek yang diperdagangkan dalam kegiatan jual beli tersebut adalah sertifikat kredit karbon yang berisi bukti upaya untuk mengurangi emisi melalui proyek tertentu yang dinyatakan dalam 1 (satu) ton karbondioksida (CO2) yang tercatat dalam SRN PPI (Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim) dalam bentuk nomor registri dan/atau kode serta telah melalui proses Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi.

Saat ini di Indonesia, pemerintah telah membuat sebuah platform Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dibawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyediakan sistem pengelolaan, penyediaan data, dan informasi berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, dan nilai ekonomi karbon di Indonesia. 

Untuk melakukan perhitungan emisi CO2 dalam kurun waktu satu tahun terhadap sebuah PLTU Batubara dengan kapasitas 100 MW dilakukan sebagai berikut:

Batubara yang dimiliki Indonesia sebagian besar merupakan jenis batubara sub-bituminous dan bituminous, secara berturut-turut memiliki densitas kalori dalam rentang rendah hingga sedang. Komposisi karbon yang terkandung dalam batubara sub-bituminous dan bituminous berada dalam rentang 48-50% dan 62-68%. Untuk menghitung massa batubara yang dibakar dalam waktu satu tahun diperlukan data-data seperti efisiensi termal PLTU dan Net Calorific Value (NCV) batubara yang digunakan 

Indonesia mendapat predikat sebagai negara super power dalam pengendalian perubahan iklim. Hal itu diungkap oleh Alok Sharma Presiden Konferensi Perubahan Iklim Dunia (COP) ke 26 di Glasgow Inggris akhir tahun 2021. Predikat ini menjadi semangat Indonesia untuk terus meningkatkan aksi-aksi iklim demi menjaga suhu bumi tidak meningkat lebih dari 2 derajat Celcius.

Author

  • As the webmaster and author for SW Indonesia, I am dedicated to providing informative and insightful content related to accounting, taxation, and business practices in Indonesia. With a strong background in web management and a deep understanding of the accounting industry, my aim is to deliver valuable knowledge and resources to our audience. From articles on VAT regulations to tips for e-commerce taxation, I strive to help businesses navigate the complexities of the Indonesian tax system. Trust SW Indonesia as your go-to source for reliable and up-to-date information, empowering you to make informed decisions and drive success in your business ventures.

    View all posts

Related Article