Otoritas Pajak Indonesia merumuskan peraturan pajak atas penggunaan emisi karbon, atau yang lebih dikenal sebagai Pajak Karbon. Penerimaan dari Pajak Karbon akan dianggarkan untuk pengembangan energi bersih atau yang dikenal sebagai Energi Baru Terbarukan (EBT). Inisiatif penerapan Pajak Karbon mendorong inovasi teknologi sehingga para pelaku usaha lebih memilih aktivitas ekonomi hijau atau rendah karbon, sehingga dapat mengurangi karbon dioksida dan zat rumah kaca lain. Selain itu, pajak karbon ini tentunya akan dijadikan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan prinsip “Pencemar Membayar”.
Penggunaan emisi karbon memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Penggunaan bahan bakar fosil dan emisi dengan kandungan karbon tinggi seperti Batubara, Solar, dan Bensin oleh pabrik, maupun kendaraan bermotor di Indonesia, serta sehubungan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) maksimal pada tahun 2060 dan target pengurangan emisi Indonesia 31,89% pada 2030 mendatang, maka Pemerintah Indonesia turut mengambil andil untuk mengurangi penggunaan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pajak karbon adalah salah satu instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dengan tujuan sebagai berikut:
- Mengubah perilaku,
para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
- Mendukung Penurunan Emisi
mendukung target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang.
- Mendorong Inovasi dan Investasi
mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon dan ramah lingkungan.
Prinsip-prinsip Penerapan Pajak karbon:
- Adil, berdasarkan pada “prinsip pencemar membayar”
- Terjangkau, memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas
- Bertahap, memperhatikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan masyarakat
Lebih lanjut, Pemerintah juga menilai kegiatan pada sektor ekonomi yang memiliki konsumsi emisi karbon tertinggi berada pada industri pulp and paper, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia. Pengenaan pajak atas penggunaan emisi karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi yang rendah karbon.
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan yang setara, dengan ketentuan harga paling rendah sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen.
Dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30 dan terutang pada saat:
- pembelian barang yang mengandung karbon;
- pada akhir periode tahun kalendar dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau
- saat lain yang diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Sebenarnya Pajak Karbon tersebut sudah akan dicanangkan sejak tahun 2021, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada bulan April tahun 2021. Namun Pajak Karbon ditunda hingga ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025 nanti.
Lebih lanjut, berikut adalah perencanaan pelaksanaan Pengenaan Pajak Karbon di Indonesia dirancang untuk transisi energi trasisi yang adil dan berkelanjutan:
- Tahun 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon;
- Tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara;
- Tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan skala.
Pada saat ini, Pemerintah Indonesia masih merancang tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon beserta perlakuan lainnya terkait pemenuhan kewajiban pajak karbon. Selain itu, pemerintah juga masih mempersiapkan cara untuk mengukur emisi karbon dan mensosialisasikan ke masyarakat, karena hal ini berhubungan erat dengan regulasi global dan peraturan nasional untuk menghitung CO2 di suatu negara.
Dibutuhkan perencanaan dan perhitungan yang matang agar dapat meminimalisir dampak negatif seperti inflasi dan potensi kenaikan harga BBM maupun listrik seiring dengan bertambahnya harga produksi, karena dalam penerapan pajak karbon nanti, pemerintah akan memfokuskan pajak karbon kepada sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, seperti contohnya PLTU Batubara sebagai penyumbang emisi teringgi.